Sabtu, 24 April 2021

CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI" KARYA M. SHOIM ANWAR


            Ulasan kali ini tentang cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar yang cukup membuat penasaran dari judulnya. Sebelum membahas cerpen ini lebih jauh, mari kita berkenalan dengan penulisnya yang tentu sudah tidak asing lagi yaitu M. Shoim Anwar. Beliau sudah memiliki jam terbang tinggi dalam hal menciptakan sebuah karya sastra yang memiliki nilai estetika bagi penikmatnya. Banyak judul cerpen yang telah diterbitkan oleh M. Shoim Anwar diantaranya Di Jalan Jabal Al-Kaabah, Tahi Lalat, Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup, Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Pada kesempatan ini  kita akan membahas cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat lelaki. Siapakah Sulastri dan empat lelaki? Ada apa dengan mereka? Mari kita kupas lebih dalam makna cerpen ini!

Karya sastra merupakan sebuah ide yang dituangkan penulis dengan memperhatikan nilai estetika. Terdapat beberapa jenis karya sastra yang sering kita jumpai contohnya puisi, novel, pantu, cerpen, dan sebagainya. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anwar tersebut menceritakan nasib dari Sulastri yang memiliki permasalahan dan sebagian besar permasalahan tersebut berhubungan dengan lelaki. Sulastri sudah menikah dan memiliki suami yang bernama Markam. Markam merupakan suami dari Sulastri. Pasangan suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.

            Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki ini menceritakan seorang wanita bernama Sulastri yang lokasinya saat itu berada di bibir pantai Laut merah. Kemudian Sulastri bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dipulangkan ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi mencoba menangkap Sulastri untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudian diberikan kepada para mafia sebagai perantara. Setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih mirisnya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.

Hingga pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari petugas polisi tersebut dan berdiri di posisi awal kedatangannya, ia mengingat masa lalun dengan suaminya yang bernama Markam. Mereka bertempat tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.

            Sulastri pun merasa bahwa ia tidak bisa hidup seperti ini terus dengan mengandalkan Markam. Ditambah lagi ia harus membiayai kehidupan anak mereka. Pada awal-awal Markam bergulat dengan dunia pertapaan untuk mendapatkan keris dan tombak, Sulastri sempat mengira akan mendapatkan hal yang dapat ia gunakan untuk membiayai kehidupan keluarganya tersebut, namun lambat laun kesabaran Sulastri menunggu kejayaan keluarganya pun mengikis. Suatu ketika Markam pulang sehabis bertapa dan Sulastri murka dengan keadaan saat itu. Markam pulang tanpa membawa hasil apapun, sehingga hal tersebut membuat Sulastri semakin murka, ia mengambil dan melempar buku yang berisi kiranya ilmu untuk bertapa tersebut ke arah muka sang suami, Markam. “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa dengan meninggalkan kemewahan pada keluarganya. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta benda yang berlimpah. Tapi kau malah meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”. Begitulah kemurkaan Sulastri yang dilontarkan terhadap Markam sang suami. Mendengar istrinya begitu murka, Markam mengambil sesuatu dari dapur dan pergi meninggalkan rumah untuk mengabdikan hidupnya bertapa agar mendapatkan benda-benda pusaka yang sangat ia dambakan tersebut.

            Setelah bayang-bayang tentang suaminya memudar, Sulastri terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki yang disebut dengan Firaun. Sulastri menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada seseorang yang ia mintai pertolongan, di sana ia melihat polisi yang akan menangkapnya tadi. Namun polisi tersebut bukannya menolong malah ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam pos. kejadian tersebut merupakan kali kedua polisi dengan Sulastri bertemu di tempat yang sama. Firaun memiliki badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Di tengah kejar-kejaran tersebut muncul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dengan membawa tongkat. Musa, itulah namanya. Sulatri mencoba meminta tolong, namun Musa memberikan isyarat bahwa ia tidak bisa membantu Sulastri hingga akhirnya sosok Musa menghilang. Kemudian Sulastri tertangkap kembali oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga kesakitan. Tiba-tiba muncul kembali sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat  Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia terkejut, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi.

Setelah mebaca cerita pendek Laut Merah di atas, yang dapat saya simpulkan yaitu  dal segi religi. Markam melakukan pemujaan pada berhala yang sudah pasti itu melanggar perintah agama. Ia rutin bertapa dengan keris dan tombak di mana hal tersebut tidak dibenarkan berdasarkan agama terutama agama islam meskipun memang pada dasarnya setiap manusia bebas memiliki dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Dengan perilaku yang seperti itu ia menelantarkan anak dan istrinya sehingga hal tersebut juga memiliki pandangan tidak baik di mata suatu agama yang dianut. Apabila membaca dari sudut pandang perempuan pasti kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata sempurna yakni kebahagiaan. Markam seorang suami yang mencampakan anak serta istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Markam memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam ikatan pernikahan seorang perempuan akan merasa tersakiti dan tertekan. Namun di sisi lain, Sulastri juga tidak dapat dibenarkan karena jika memang suami melakukan perbuatan yang kiranya tidak baik atau bertentangan dengan agama yang dianut seharusnya ia sebagai istri dapat mencegah. Beberapa kali Sulastri mencoba bersabar menahan diri untuk tidak marah pada Markam. Tetapi Sulastri mula lelah dengan kehidupan yang ia rasakan.

            Apabila dilihat dari aspek sosial,  cerpen tersebut menceritakan perempuan yang mengalami bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut berupa kekerasan secara fisik yang dialami Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga hingga merasa kesakitan. Hal itu menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk siksaan berupa kekerasan fisik. Dapat kita lihat pada kehidupan nyata, bahwa perempuan sering mengalami pelecehan dan KDRT.

            Aspek ekonomi dapat dilihat pada bagian cerita Sulastri yang murka pada sang suami karena merasa hidupnya selalu sengsara. Ia tidak mendapatkan nafkah dari Markam  yang sering meninggalkan pekerjaannya dan keluarganya, ia lebih memilih mengabdi bertapa untuk mengandalkan keris dan tombak sehingga keadaan ekonomi pada keluarganya benar-benar kacau. Karena merasa putus asa dengan hidupnya, Sulastri memutuskan untuk pergi ke Arab dengan harapan mendapatkan pendapatan cukup seperti yang diinginkan sejak dulu. Namun di sana Sulastri mengalami beberapa kejadian yang tidak diduga. Ia tetap tersiksa dan terpuruk sama halnya dengan di Indonesia. Dari hal tersebut dapat dijelaskan, bahwa ekonomi berpengaruh sangat penting terhadap hidup seseorang. Bahkan ekonomi juga menentukan jalan hidup yang akan dilakukan.

Keseluruhan cerpen itu sendiri menjelaskan tentang imajinasi penulis yang sangat bagus. Menceritakan seorang pribumi bernama yang mengadu nasib ke Negara Arab namun mendapat berbagai cobaan. Empat lelaki yakni Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah kiasan yang dibuat penulis. Dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidup Sulastri dapat dipahami bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kejayaan mereka sendiri, tidak perlu mengandalkan kepada orang lain. Meskipun ketika seorang perempuan yang telah menikah, ia juga harus hidup mandiri tak boleh bergantung sepenuhnya pada suami.

Sosok Sulastri dan Empat Lelaki tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup selalu berurusan dengan orang yang baik dan orang jahat. Hal ini sama seperti sosok Musa dan Firaun yang memiliki sifat berbeda. Selain itu, polisi lelaki yang diharapkan dapt menolong Sulastri saat dikejar Firaun justru membiarkannya.  Hal tersebut diumpamakan bahwa seseorang yang kita andalkan, belum tentu dengan ikhlas menolong. Semua ingin mendapatkan upah dan imbalan atas perbuatannya. Kejadian seperti itu memang ada di dunia nyata saat  ini. Kebanyakan orang menolong dengan pamrih. Mengharapkan imbalan atas jasa yang telah dilakukan.

Selain itu, pada aspek agama juga terlihat dalam cerpen ini. Banyak manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik dan dilarang agama namun dengan sadar tetap melakukannya. Mereka akan bertobat jika sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Seprti kedudukan, kejayaan, kekuasaan, kekayaan dan masih banyak lagi. Namun jika keinginan mereka tidak terkabul, akan menghalalkan segala cara demi mendapat hasil secara instan. Sesungguhnya Allah akan memberikan apapun asalkan manusia itu berusaha dan berdoa dengan sungguh-sunguh.

Suatu karya sastra pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, tak terkecuali pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Kekurangannya yaitu terdapat penjelasan di beberapa kalimat yang dirasa kurang padu. Membuat jalan cerita menjadi ambigu tanpa adanya rincian yang lebih dalam lagi. Kelebihannya adalah imajinasi penulis yang saya anggap sudah terletak pada level tertinggi untuk sebuah gambaran yang dapat memikat penikmatnya. Penggunaan unsur bahasa dari arab juga menambah kesan estetik jalan cerita tersebut. Begitulah kiranya yang bisa saya uraikan tentang cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAJAK PALSU KARYA AGUS R. SARJONO

     Sebelumnya kita telah mengulas dua puisi Widji Thukul, kali ini kita akan beralih pada karya kini Agus R.Sarjono dengan judul Sajak Pal...