Ulasan kali ini tentang cerpen Sulastri dan Empat lelaki
karya M. Shoim Anwar yang cukup membuat penasaran dari judulnya. Sebelum
membahas cerpen ini lebih jauh, mari kita berkenalan dengan penulisnya yang
tentu sudah tidak asing lagi yaitu M. Shoim Anwar. Beliau sudah memiliki jam
terbang tinggi dalam hal menciptakan sebuah karya sastra yang memiliki nilai
estetika bagi penikmatnya. Banyak judul cerpen yang telah diterbitkan oleh M.
Shoim Anwar diantaranya Di
Jalan Jabal Al-Kaabah, Tahi Lalat, Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup, Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah, dan masih banyak
lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Pada kesempatan ini kita akan membahas cerpen yang berjudul
Sulastri dan Empat lelaki. Siapakah Sulastri dan empat lelaki? Ada apa dengan
mereka? Mari kita kupas lebih dalam makna cerpen ini!
Karya
sastra merupakan sebuah ide yang dituangkan penulis dengan memperhatikan nilai
estetika. Terdapat beberapa jenis karya sastra yang sering kita jumpai
contohnya puisi, novel, pantu, cerpen, dan sebagainya. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim
Anwar tersebut menceritakan nasib dari Sulastri yang memiliki permasalahan dan
sebagian besar permasalahan tersebut berhubungan dengan lelaki. Sulastri sudah
menikah dan memiliki suami yang bernama Markam. Markam merupakan suami dari
Sulastri. Pasangan suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah sekitar
Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan
normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh
miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan
pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke
pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman
tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik
rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas
pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan
yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki
suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.
Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki ini menceritakan seorang
wanita bernama Sulastri yang lokasinya saat itu berada di bibir pantai Laut
merah. Kemudian Sulastri bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya.
Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dipulangkan ke negara
asalnya yaitu Indonesia. Polisi mencoba menangkap Sulastri untuk dikumpulkan
dengan temaan-temanya yang lain kemudian diberikan kepada para mafia sebagai
perantara. Setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan
berupa uang dan lebih mirisnya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal
dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.
Hingga
pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari petugas polisi tersebut dan berdiri
di posisi awal kedatangannya, ia mengingat masa lalun dengan suaminya yang
bernama Markam. Mereka bertempat
tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri
tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga
kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan
sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di
daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana
kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia
dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau.
Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia
bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk
bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan
juga.
Sulastri
pun merasa bahwa ia tidak bisa hidup seperti ini terus dengan mengandalkan
Markam. Ditambah lagi ia harus membiayai kehidupan anak mereka. Pada awal-awal
Markam bergulat dengan dunia pertapaan untuk mendapatkan keris dan tombak, Sulastri
sempat mengira akan mendapatkan hal yang dapat ia gunakan untuk membiayai
kehidupan keluarganya tersebut, namun lambat laun kesabaran Sulastri menunggu
kejayaan keluarganya pun mengikis. Suatu ketika Markam pulang sehabis bertapa
dan Sulastri murka dengan keadaan saat itu. Markam pulang tanpa membawa hasil
apapun, sehingga hal tersebut membuat Sulastri semakin murka, ia mengambil dan
melempar buku yang berisi kiranya ilmu untuk bertapa tersebut ke arah muka sang
suami, Markam. “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya
yang pergi bertapa dengan meninggalkan kemewahan pada keluarganya. Istri dan
anaknya ditinggal dengan harta benda yang berlimpah. Tapi kau malah
meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”. Begitulah kemurkaan
Sulastri yang dilontarkan terhadap Markam sang suami. Mendengar istrinya begitu
murka, Markam mengambil sesuatu dari dapur dan pergi meninggalkan rumah untuk
mengabdikan hidupnya bertapa agar mendapatkan benda-benda pusaka yang sangat ia
dambakan tersebut.
Setelah bayang-bayang tentang suaminya memudar, Sulastri terkejut
dengan kehadiran sosok laki-laki yang disebut dengan Firaun. Sulastri menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada
seseorang yang ia mintai pertolongan, di sana ia melihat polisi yang akan menangkapnya
tadi. Namun polisi tersebut bukannya menolong malah ia melambaikan tangan dan
masuk ke dalam pos. kejadian tersebut merupakan kali kedua polisi dengan
Sulastri bertemu di tempat yang sama. Firaun memiliki badan
dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam
cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris.
Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Di tengah kejar-kejaran
tersebut muncul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dengan membawa tongkat.
Musa, itulah namanya. Sulatri mencoba meminta tolong, namun Musa memberikan
isyarat bahwa ia tidak bisa membantu Sulastri hingga akhirnya sosok Musa
menghilang. Kemudian Sulastri tertangkap kembali oleh Firaun. Rambutnya ditarik
hingga kesakitan. Tiba-tiba muncul kembali sosok Musa dengan tongkatnya.
Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan
kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun
dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi
digengamnya pun tidak ada. Ia terkejut, apakah kejadian yang dialaminya tadi
hanya sebuah mimpi.
Setelah mebaca cerita pendek Laut Merah di atas, yang
dapat saya simpulkan yaitu dal segi
religi. Markam melakukan pemujaan pada berhala yang sudah pasti itu melanggar
perintah agama. Ia rutin bertapa dengan keris dan tombak di mana hal tersebut
tidak dibenarkan berdasarkan agama terutama agama islam meskipun memang pada
dasarnya setiap manusia bebas memiliki dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
Dengan perilaku yang seperti itu ia menelantarkan anak dan istrinya sehingga
hal tersebut juga memiliki pandangan tidak baik di mata suatu agama yang
dianut. Apabila
membaca dari sudut pandang perempuan pasti kita akan menemukan suatu bentuk
ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat
pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari
kata sempurna yakni kebahagiaan. Markam seorang suami yang mencampakan anak
serta istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga.
Markam memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan
pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam ikatan pernikahan seorang perempuan
akan merasa tersakiti dan tertekan. Namun di sisi lain, Sulastri juga tidak dapat dibenarkan karena jika
memang suami melakukan perbuatan yang kiranya tidak baik atau bertentangan
dengan agama yang dianut seharusnya ia sebagai istri dapat mencegah. Beberapa
kali Sulastri mencoba bersabar menahan diri untuk tidak marah pada Markam.
Tetapi Sulastri mula lelah dengan kehidupan yang ia rasakan.
Apabila dilihat dari aspek sosial, cerpen tersebut menceritakan perempuan yang mengalami
bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut berupa kekerasan secara fisik yang dialami
Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga hingga merasa
kesakitan. Hal itu menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk siksaan
berupa kekerasan fisik. Dapat kita lihat pada kehidupan nyata, bahwa perempuan
sering mengalami pelecehan dan KDRT.
Aspek
ekonomi dapat dilihat pada bagian cerita Sulastri yang murka pada sang suami
karena merasa hidupnya selalu sengsara. Ia tidak mendapatkan nafkah dari Markam
yang sering meninggalkan pekerjaannya
dan keluarganya, ia lebih memilih mengabdi bertapa untuk mengandalkan keris dan
tombak sehingga keadaan ekonomi pada keluarganya benar-benar kacau. Karena
merasa putus asa dengan hidupnya, Sulastri memutuskan untuk pergi ke Arab
dengan harapan mendapatkan pendapatan cukup seperti yang diinginkan sejak dulu.
Namun di sana Sulastri mengalami beberapa kejadian yang tidak diduga. Ia tetap
tersiksa dan terpuruk sama halnya dengan di Indonesia. Dari hal tersebut dapat
dijelaskan, bahwa ekonomi berpengaruh sangat penting terhadap hidup seseorang.
Bahkan ekonomi juga menentukan jalan hidup yang akan dilakukan.
Keseluruhan
cerpen itu sendiri menjelaskan tentang imajinasi penulis yang sangat bagus.
Menceritakan seorang pribumi bernama yang mengadu nasib ke Negara Arab namun
mendapat berbagai cobaan. Empat lelaki yakni Polisi, Markam, dan Firaun, serta
Musa merupakan sebuah kiasan yang dibuat penulis. Dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidup
Sulastri dapat dipahami bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kebahagiaan
dan kejayaan mereka sendiri, tidak perlu mengandalkan kepada orang lain.
Meskipun ketika seorang perempuan yang telah menikah, ia juga harus hidup
mandiri tak boleh bergantung sepenuhnya pada suami.
Sosok Sulastri dan Empat Lelaki tersebut dapat
disimpulkan bahwa hidup selalu berurusan dengan orang yang baik dan orang
jahat. Hal ini sama seperti sosok Musa dan Firaun yang memiliki sifat berbeda.
Selain itu, polisi lelaki yang diharapkan dapt menolong Sulastri saat dikejar
Firaun justru membiarkannya. Hal
tersebut diumpamakan bahwa seseorang yang kita andalkan, belum tentu dengan
ikhlas menolong. Semua ingin mendapatkan upah dan imbalan atas perbuatannya.
Kejadian seperti itu memang ada di dunia nyata saat ini. Kebanyakan orang menolong dengan pamrih.
Mengharapkan imbalan atas jasa yang telah dilakukan.
Selain itu, pada aspek agama juga terlihat dalam
cerpen ini. Banyak manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik dan
dilarang agama namun dengan sadar tetap melakukannya. Mereka akan bertobat jika
sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Seprti kedudukan, kejayaan, kekuasaan,
kekayaan dan masih banyak lagi. Namun jika keinginan mereka tidak terkabul,
akan menghalalkan segala cara demi mendapat hasil secara instan. Sesungguhnya
Allah akan memberikan apapun asalkan manusia itu berusaha dan berdoa dengan
sungguh-sunguh.
Suatu karya sastra pasti memiliki kekurangan dan
kelebihan, tak terkecuali pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Kekurangannya
yaitu terdapat penjelasan di beberapa kalimat yang dirasa kurang padu. Membuat
jalan cerita menjadi ambigu tanpa adanya rincian yang lebih dalam lagi. Kelebihannya
adalah imajinasi penulis yang saya anggap sudah terletak pada level tertinggi
untuk sebuah gambaran yang dapat memikat penikmatnya. Penggunaan unsur bahasa
dari arab juga menambah kesan estetik jalan cerita tersebut. Begitulah
kiranya yang bisa saya uraikan tentang cerpen Sulastri dan Empat Lelaki
karya M. Shoim Anwar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar