Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup
Karya M. Shoim Anwar
Gus Usup bukanlah orang biasa. Kami menghormatinya
sebagaimana kami menghormati orang-orang terhormat. Penghormatan terhadap Gus
Usup telah dilakukan para tetua sehingga tak ada alasan buat kami untuk tidak
berlaku hormat padanya. Ketika dia melintas di jalan, orang-orang menyapanya
dengan penuh rasa hormat, sedikit membungkukkan badan, menanyakan mau ke mana,
hingga mempersilakan mampir ke rumah. Sebuah kehormatan luar biasa bila Gus
Usup berkenan singgah dan menyeruput kopi yang kami suguhkan. Tentu saja ini
jarang terjadi. Gus Usup menjawab sapaan kami dengan tersenyum sambil terus
mengayuh sepedanya.
“Assalamu’alaikum,
Gus,” begitulah kami menyapa ketika beliau lewat. Salam itu dijawabnya dengan
sopan pula.
“Mampir
dulu, Gus.”
“Inggih,
terima kasih,” jawabnya lembut.
Gus
Usup bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya
kami sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula.
Kami tidak pernah menggunjing tentangnya. Segala yang terkait dengan Gus Usup
kami anggap sebagai sesuatu yang wajar. Tidak ada prasangka buruk sekecil biji
zarah pun terhadap Gus Usup. Sikap dan pembicaraan para orang tua kami seakan
memberi contoh bahwa begitulah yang harus kami lakukan terhadap Gus Usup,
termasuk kepada saudaranya seperti Gus Man, Gus Mak, Gus Roz, dan Gus Zin. Kami
memang memanggil dengan sapaan “gus” untuk laki-laki keluarga pondok. Di antara
mereka itu hanya Gus Usup yang bergaul akrab dengan siapa saja.
Gus
Usup terbilang tampan. Wajah dan kulitnya kuning bersih. Rambutnya selalu
dipotong pendek. Karena tak pernah memakai kopiah, rambut bagian depan yang
agak panjang terlihat ikal menggelombang. Alisnya cenderung tebal. Dia tak
pernah memelihara kumis dan jenggot, tapi tepat di bagian bawah bibirnya
terdapat rambut yang dibiarkan tumbuh hingga membentuk gerumbul yang manis di
wajahnya. Sering dia mengangkat ujung sarung hingga sebatas dengkul saat
berjalan. Bulu-bulu keriting kelihatan tumbuh lebat di kakinya yang kuning.
Mungkin karena ketampanannya itulah Gus Usup menjadi anak kesayangan Bu Nyai.
“Sejak
anak-anak, Gus Usup itu suka main dengan anak-anak kampung,” cerita Guk Mat
sebagai teman sepermainannya.
“Apa
kesukaannya, Guk?” kami bertanya.
“Menghanyutkan
diri dengan rakit dari batang pisang, lalu mandi bersama-sama di Kali Dam
sambil belajar renang gaya sungai,” lanjut Guk Mat sambil memperagakan renang
gaya sungai. “Gus Usup juga suka mencari batu-batu kecil di dasar sungai.”
“Untuk
apa batu?”
“Katanya
itu batu akik.”
“Kalau
ketahuan keluarga pondok, Gus Usup dimarahi apa nggak, Guk?”
Guk
Mat tersenyum. Sepertinya dia memang punya kenangan masa kecil yang seru dengan
Gus Usup.
“Ya,
sering. Gus Man itu, kakaknya yang paling besar, sering mencarinya. Gus Usup
diseret pulang kalau ketahuan mandi di sungai. Makanya kalau habis mandi Gus
Usup nggak berani langsung pulang.”
“Kenapa,
Guk?” kami makin ingin tahu.
“Kalau
habis mandi di sungai mata pasti merah warnanya. Makanya kalau pulang harus
nunggu lama sampai nggak merah lagi. Tapi itu dulu,” kata Guk Mat. “Sekarang
Kali Dam sudah tercemar sampah dan limbah.”
Inilah
satu kebiasaan lain Gus Usup. Kami hampir selalu melihat dia menggigit-gigit
benda kecil semacam tusuk gigi hingga kedua rahangnya bergerak-gerak. Sering
dia menggapai ranting-ranting kecil ketika berjalan, atau bagian-bagian
tertentu dari pagar bambu di tepi jalan yang dilewatinya untuk digigit-gigit menggantikan
yang telah habis di bibirnya. Mohon maaf kalau perumpamaan kami tidak tepat.
Kesukaan Gus Usup menggigit-gigit lidi itu mirip kebiasaan burung labet yang
hendak bersarang.
Seperti
yang sering kami lihat, pagi itu tampak Gus Usup berjalan meniti pematang di
jauh sana. Dia kembali pulang setelah semalam bermain kartu remi dengan
orang-orang kampung di sebelah timur, di rumah Wak Parmin dekat kuburan. Rumah
Gus Usup di lingkungan pondok dengan kampung kami memang dipisah oleh bentangan
sawah. Kami tetap tahu meski dia berjalan sambil sarungnya diangkat hingga
menutup kepala. Bila Gus Usup tidak pulang, Fadilah, keponakannya, sering
mencari di pojok kampung tempat dia bermain kartu.
Meski
umurnya terbilang lebih dari cukup, Gus Usup belum menikah. Guk Mat, teman
sepermainan Gus Usup itu, sudah memiliki tiga orang anak. Tapi Gus Usup belum
ada tanda-tanda mau menikah. Dulu kabarnya dia akan dijodohkan dengan Ning
Sokhifah, anak Gus Bay dari pondok utara, tapi tak ada kelanjutannya. Justru
Ning Sokhifah malah menikah dengan Gus Roz, adik Gus Usup dari ibu yang
berbeda. Entah mengapa Gus Usup belum menikah, padahal kalau dia mau, tinggal
memilih bidadari di kampung kami yang paling cantik pasti terkabul. Kami tahu
hampir semua gadis di sini ingin jadi menantu keluarga pondok. Para gadis pun
diam-diam berusaha menampakkan diri ketika Gus Usup yang tampan itu lewat. Tapi
memang begitulah adanya. Keluarga pondok biasanya mengambil menantu juga dari
keluarga pondok yang lain, meskipun antarmereka masih memiliki hubungan
kerabat. Tapi sayang, hubungan antarpondok sekarang banyak yang kurang akrab
karena para pengasuhnya terlibat dukung-mendukung partai politik yang berbeda.
Mereka bahkan bersaing tidak sehat dalam pencalonan anggota parlemen maupun
kepala daerah. Syukurlah hingga detik ini Gus Usup tidak termakan godaan partai
politik hingga bisa bergaul dengan siapa saja.
Sebagai
teman sepermainan Gus Usup, Guk Mat bekerja di pabrik gula. Tapi pekerjaan Gus
Usup tidak terlalu jelas buat kami. Yang pasti Gus Usup rajin ke sawah, baik
yang berada di belakang pondok maupun di sebelah utara kampung. Segala yang
ditanam Gus Usup tumbuh dengan baik. Bila musim kemarau, tanaman terong,
lombok, serta tomat berbuah dengan lebat. Saat malam, ketika kami berburu
jangkrik sambil membawa obor, terong-terong itu sering kami curi untuk dimakan
mentah-mentah, meski banyak juga di antara kami takut kalau terkena sesuatu
setelah makan terong Gus Usup.
“Perutmu
bisa mlembung kalau nyolong terong Gus
Usup,” kata Guk Mat menakut-nakuti kami.
Seperti
diceritakan oleh Guk Mat, dulu waktu mandi Gus Usup suka mencari batu akik di
dasar sungai. Dan itulah yang paling menjadi perhatian bagi kami: cincin akik
yang melingkar di jari manis Gus Usup. Batu akik sebesar ibu jari itu bermotif
sisik naga, berwarna cokelat dengan ornamen seperti sisik yang saling menindih.
Saat bermain kartu, terutama ketika malam menjelang ada orang hajatan di
kampung, akik sisik naga Gus Usup itu hampir pasti menjadi pembicaraan. Dengan
memakai akik itu konon Gus Usup tidak pernah kalah dalam bermain kartu. Kalau
toh kalah dengan taruhan uang kecil-kecilan, kata orang itu sengaja mengalah
demi menyenangkan lawan mainnya seperti Guk Mat, Guk Pin, Wak Parmin, Wak
Rokemat, Kang Marsud, Kang Maskut, Kang Gangsar, Cak Kamal, Cak Nan, dan
beberapa orang lainnya.
Mungkin
karena sering mendengar cerita soal akik Gus Usup, tidak sedikit yang berusaha
mendekat sambil menuding-nuding akik itu, terutama mereka yang berumur belasan
tahun. Gus Usup hanya tersenyum sambil tetap bermain kartu remi di acara
hajatan warga.
“Kalau
pegang kamu nggak bisa kencing dan berak,” kata Gus Usup.
“Masak,
Gus!?” Salah satu dari mereka, Dulah namanya, terjingkat.
“Lo,
beneran. Nggak bohong ini,” ujar Gus Usup kalem sambil tersenyum.
“Demi
Allah, Gus?”
“Demi
Allah,” Gus Usup manggut-manggut.
Mendengar
jawaban Gus Usup tiba-tiba semuanya terdiam. Tergambar perasaan takut pada
wajah mereka. Mereka agak menjauh. Tapi Dulah kembali nyeletuk, “Musyrik itu,
Gus. Masak pegang aja nggak bisa kencing dan berak?”
“Kamu
nggak percaya?” tanya Gus Usup sambil meletakkan sebuah kartu remi ke deretan
di depannya.
“Masak?”
“Buktikan
saja kalau berani,” Gus Usup tersenyum sambil mengulurkan lengan kirinya,
sementara kartu reminya dipindah ke tangan kanan. “Kalau tidak terbukti nanti
saya beri uang kamu.”
“Saya
berani, Gus. Bismillaahir rahmaanir rahiim.” Dulah pun
menyentuhkan ujung telunjuknya ke akik Gus Usup, agak sedikit gemetar tapi
berani.
“Sudah?”
tanya Gus Usup.
“Sudah,
Gus. Nggak apa-apa kan?”
“Ayo,
sambil memegang sekarang kamu kencing dan berak di sini!”
“Wah
ya nggak mau, Gus….”
“Nggak
bisa kan? Tadi saya bilang kalau pegang. Kalau ke WC berarti sudah tidak
pegang.”
Semua
yang hadir tertawa. Dulah cengar-cengir. Beberapa saat setelah itu giliran Gus
Usup mengambil sebuah kartu remi yang tertumpuk di depannya, ditepuk-tepuk dulu
punggung kartu itu dengan jemari yang dihiasi sisik naga, digeser, diletakkan
di depannya, kemudian diintip pelan-pelan dari sudutnya.
“Ngandang!”
kata Gus Usup sambil membuka semua kartu di tangannya dengan cekatan,
diletakkan di lantai. Benar, kali ini dia memenangkan permainan. Diraupnya uang
recehan yang menumpuk di tengah karena sudah lima kali putaran belum ada yang
memenangkan. Yang lain cuma manggut-manggut kecut. Dengan sigap Gus Usup
kembali mengocok tumpukan kartu dan membagikan kepada para pemain.
“Sisik
naga dilawan,” kata Cak Nan sambil meraih gelas kopi.
“Giliranku
menang.” Wak Marsud menepuk-nepuk sisik naga di jari Gus Usup. Gus Usup hanya
tersenyum.
“Habis
recehan saya, Gus,” kata Guk Mat.
“Masih
sore kok sudah habis,” Gus Usup menimpali. “Tukarkan!”
Semua
yang bermain mengerti apa yang dimaksud Guk Mat. Mereka berharap Gus Usup
membagikan kembali uang yang telah dimenangkan. Dan memang demikianlah. Mereka
yang bermain dengan Gus Usup boleh dibilang tak pernah kalah atau merugi.
Mungkin juga tak pernah benar-benar menang. Di akhir permainan, atau ketika
lawannya sudah kehabisan uang, Gus Usup akan memberikan kembali uang itu.
Mereka lama-lama merasa sungkan. Ketika Gus Usup kalah dan kehabisan uang,
mereka pun memberikan kembali uang modal kepada Gus Usup. Akik sisik naga di
jari manis Gus Usup akhirnya menjadi harapan mereka, karena kalau Gus Usup
menang pasti uangnya akan dibagikan kembali.
Dulu,
ketika kami belajar mengaji dan berlatih bela diri di pondok, akik sisik naga
Gus Usup juga menjadi perhatian. Kami berlatih tenaga dalam. Untuk mengujinya,
salah seorang di antara kami harus nyetrum, sejenis trans
tapi masih dalam kesadaran utuh sebagai penyerang. Gus Usup dengan enaknya
berkata kepada kami sambil meletakkan akik sisik naganya di lantai. Kami tahu,
akik itu sudah diisi oleh Gus Usup dengan bacaan tertentu.
“Silakan nyetrum,
datangkan semua kekuatan dan ambillah ini!”
Benar,
kami semua terpental. Tak seorang pun yang berhasil mengambil akik itu meski
seluruh tenaga dalam sudah kami datangkan saat nyetrum. Isian
akik itu benar-benar berat. Gus Usup tak pernah membuka rahasianya. Entah ayat
atau asmaul husna apa yang dibacakan. Kami makin hormat
dengan Gus Usup.
Gus
Usup sepertinya juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat
berjamaah waktu belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang
waktu itu masih anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan
saling mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling
belakang. Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf
terdepan bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki
dengan sajadah. Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa
yang tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama
kalau ada Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap
Gus Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan
dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat
berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah
salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah
diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan
pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak
tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji
Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani
ke pondok.
Uang
recehan Guk Mat sudah benar-benar habis. Beberapa kali putaran dia tidak pernah
memenangkan permainan kartu remi itu. Gayanya membanting kartu sudah tampak
bahwa dia agak kesal karena belum pernah nyirik. Sementara dia
melihat di depan Gus Usup uang recehan mengumpul sebagai bukti kemenangan.
Tiba-tiba Gus Usup pamitan ke belakang. Dia minta permainan dilanjutkan saja.
Hari memang semakin beranjak malam. Semua pemain juga sudah pernah pamit ke
belakang untuk kencing. Dengan sedikit terburu-buru Gus Usup masuk kembali dan
melemparkan jaketnya ke Guk Mat.
“Titip
sebentar, biar tidak basah!” kata Gus Usup.
Jaket
tentara warna hijau yang sudah memudar itu berada di pangkuan Guk Mat, baunya
apak kayak karung karena mungkin sudah lama tak dicuci. Permainan berlangsung
terus meski harus melangkahi giliran Gus Usup. Sampai satu putaran usai Gus
Usup belum juga kembali. Entah mengapa kali ini lama. Dari tadi memang Gus Usup
tampak kurang nyaman sambil memijit-mijit perutnya.
“Mumpung
tak ada Gus Usup. Menang!” kata Guk Mat dengan yakin.
“Aku
yang harus menang,” Cak Kamal menimpali.
“Jangan
mulai dulu. Kita tunggu Gus Usup datang,” usul Cak Nan.
“Kan
kita disuruh terus tadi?” Kang Marsud ingin berlanjut.
“Gak
enak ah!” sergah Cak Nan.
“Lanjuuut…!”
Guk Mat tak mau membuang-buang waktu. Kartu remi itu dikocok dengan cepat.
Diletakkan di tengah, barangkali ada yang mau mengocok lagi karena tidak puas.
Tidak ada. Guk Mat segera membagikan kartu itu satu per satu. Permainan pun
berlanjut. Ketika semua asyik mencermati kartu, Gus Usup muncul dan pamitan
pulang dengan terburu-buru. Tanpa menunggu tanggapan dia langsung pergi dengan
mengucapkan satu kalimat pendek, “Perutku nggak enak.” Uang recehannya juga
ditinggal.
Kepulangan
Gus Usup membuat para pemain bersemangat untuk memenangkan. Cuaca malam makin
dingin. Guk Mat baru tersadar bahwa jaket Gus Usup masih di pangkuannya. Tanpa
berpikir panjang dia memakainya untuk menghangatkan badan. Kepulangan Gus Usup
membuat peluang mereka untuk menang makin besar karena musuhnya berkurang satu
orang. Kali ini benar-benar tampak serius di wajah mereka. Mata mereka melihat
ke lantai ketika ada kartu yang dibanting. Setiap ada kesempatan mengambil
kartu selalu dibarengi harapan agar bisa ngandang alias
menang. Cara mereka membuka kartu juga sangat hati-hati, ditarik ke depannya
dan diintip pelan-pelan dari pojok. Membuka kartu adalah membuka nasibnya
sendiri. Tumpukan kartu di depan mereka juga makin menipis, seperti gundukan
pasir yang makin lama makin tipis karena disapu angin.
“Nutup!”
kata Guk Mat tiba-tiba, sembari membuka kartunya ke lantai. Uang recehan yang
menumpuk di tengah itu disiriknya. Dia pun bergegas meraup kartu
untuk dikocok ulang. Darah baru tampak merambat di wajahnya.
Tanpa
kehadiran Gus Usup permainan bukan makin mengendor, tapi makin bersemangat.
Hari makin malam dan masuk ke dini hari. Mereka tidak lagi bertaruh dengan
recehan, uang kertas yang tadi hanya ngendon di saku kini keluar dengan
warna-warninya. Permainan kali ini bukan sekadar cari hiburan atau menghabiskan
waktu, tapi benar-benar mempertaruhkan nasib untuk meraih kemenangan. Putaran
demi putaran berlangsung. Meski tidak sama kadarnya, rata-rata dari mereka
sudah pernah memenangkan dari putaran-putaran sebelumnya. Lihatlah, uang-uang
kertas tampak di depan mereka. Di depan Guk Mat tampak lebih banyak karena dia
lebih sering nyirik. Recehan tidak lagi bermakna, bahkan
disisihkan.
Tiap
rentetan peristiwa pasti mencapai puncaknya. Titik kulminasi terjadi bukan
tiba-tiba, tapi mengalir dengan pasti, seperti suhu pada tungku pembakaran yang
mendidihkan air. Begitu juga permainan kartu kali ini. Mereka yang kehabisan
modal telah tersingkir. Tidak ada lagi pembagian recehan seperti kalau bersama
Gus Usup. Kopi-kopi di tempatnya sudah tinggal ampas dan memadat. Ayam berkokok
sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi beduk subuh ditabuh. Di arena permainan
itu menyisakan tiga orang: Guk Mat, Cak Kamal, dan Kang Marsud. Mereka yang
tersisih kini sebagai penonton saja. Sudah lima putaran belum ada yang
memenangkan. Sementara tiap ganti putaran uang taruhan selalu ditambahkan.
“Sudah,
ini yang terakhir!” kata Kang Marsud ketika memulai lagi permainan.
“Oke,
yang terakhir. Ini semua!” Cak Kamal mendorong semua uangnya ke tengah. Tanpa
sisa.
Mau
tak mau semua harus menambah taruhan sebesar yang disodorkan Cak Kamal. Uang
Kang Marsud ternyata tak cukup. Terpaksa harus ditambah dengan recehan yang
tadi ditinggalkan Gus Usup di dekatnya.
“Pinjam,
Gus,” kata Kang Marsud sambil menghitung recehan.
Inilah
pertaruhan nasib di titik-titik akhir. Sudah tak ada lagi taruhan yang
ditambahkan. Dompet-dompet sudah terkuras. Tampak mereka makin berkonsentrasi.
Kartu yang dibawa juga makin rapat dirahasiakan agar tidak diintip oleh lawan.
Cara mereka membanting kartu juga makin keras. Setiap kartu yang dibanting
selalu diikuti oleh pandangan mereka. Selalu waswas, jangan-jangan kartu yang
dicari sudah terbanting di arena. Mereka yang menonton juga berharap cemas.
Ingin tahu siapa yang berhasil meraup uang yang menumpuk di tengah arena itu.
Seperti
juga memancing. Ada debaran dan harapan agar ikan segera menggondolnya. Ikan
itu kali ini tidak lain adalah kartu remi. Mata mereka makin membuka. Jantung
mereka makin mendebar. Alir darah mereka juga makin menderas. Beberapa putaran
kartu-kartu yang mereka buru juga belum ketemu. Sepertinya mereka saling
mengetahui kartu-kartu yang diburu sehingga dicengkeram makin rapat. Waktu
makin merambat dengan pasti. Kokok ayam makin kerap terdengar.
“Nah, ngandang!”
kata Guk Mat dengan cepat. Semua kartu yang dipegangnya dibanting ke lantai
dengan terbuka. Semua mata spontan ikut menatap. Benar! Guk Mat memenangkan
permainan. Wajahnya tampak berbinar-binar. Darah segar sepertinya langsung
menderas ke tubuhnya. Gunungan uang di tengah arena langsung diraupnya
mendekat. Sementara Kang Marsud dan Cak Kamal melemas karena pertaruhan nasib
semalam suntuk harus berakhir dengan pahit. Ketidakhadiran Gus Usup telah
membuat dompetnya terkuras. Mereka berdua percaya, sebentar lagi istrinya
ngomel-ngomel karena tak kebagian uang belanja. Permainan pagi itu pun bubar.
Sesampai
di rumah Guk Mat langsung masuk kamar. Uang yang tadi digembol dalam perut
jaket segera dikeluarkan. Lembar demi lembar menggumpal dengan warna-warna campuran.
Sekian banyak rupiah dari banyak orang telah mengumpul di tangan Guk Mat. Dia
ingin menghitung cepat-cepat dan menyembunyikan agar tidak ketahuan istrinya.
Guk
Mat teringat, di tengah permainan tadi dia juga sempat menyembunyikan uang
kemenangan di saku jaket Gus Usup yang dipakainya. Uang itu segera dikeluarkan.
Ah, jumlahnya makin banyak pula. Kantong saku jaket sebelah kiri telah
dirogohnya. Kini dia berganti merogoh saku jaket sebelah kanan. Terasa ada
benda aneh di tangannya. Segera dikeluarkan. Guk Mat terjingkat. Sisik naga!
Akik Gus Usup itu ternyata ikut tertinggal di saku jaketnya. Entah ini
disengaja atau tidak oleh Gus Usup. Mata Guk Mat tak berkedip melihatnya. Ada
getaran di jemarinya.
Tangan
Guk Mat belum juga berubah. Akik sisik naga milik Gus Usup itu terus
diperhatikan di kedua ujung jarinya. Dia mulai berpikir, apakah kemenangan
terbesar yang diraupnya kali ini terkait dengan akik sisik naga di sakunya? Dia
sadar bahwa benda itu milik Gus Usup, tapi lama-lama timbul keinginan pada diri
Guk Mat untuk memiliki sisik naga itu. Guk Mat terpaku di atas dipan kamarnya.
Uangnya masih menggelasah di tikar. Guk Mat
menimbang-nimbang, cara apakah yang paling ampuh agar sisik naga itu terus
berada di genggamannya?
Jombang-Surabaya, 2016
Pembahasan saat ini berbeda
dengan sebelumnya yang selalu mengulas tentang puisi, kali ini saya akan
mengulas cerpen berjudul 'Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup' karya M.Shoim Anwar
yang telah menghasilkan berbagai judul cerpen salah satunya 'Sepatu Jinjit
Ariyanti'
Cerita pendek yang
berjudul 'Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup' mengulas tentang batu akik yang
dimiliki Gus Usup. Pada cerita pendek tersebut menjelaskan bahwa untuk
menghargai orang lain tak perlu memandang jabatan atau pangkat yang melekat.
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam cerita pendek tersebut.
Gus
Usup bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya
kami sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan
pula.' Dari potongan narasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Gus Usup merupakan
seseorang yang memiliki status terhormat di wilayahnya sehingga beliau
diperlakukan sesuai statusnya. Meskipun disanjung oleh masyarakat sekitar, Gus
Usup tetap rendah hati dan masih mau bercengkrama dengan masyarakat sekitar
bahkan untuk main kartu pun beliau bersedia.
Batu Akik merupakan batu
berwarna yang sering dijadikan permata cincin. Batu Akik juga menjadi simbol atau
lambang tertentu serta dapat menangkal penyakit. Pada cerpen tersebut juga
dijelaskan bahwa Batu Akik dapat menangkal penyakit. Hal ini seperti yang dijelaskan
dalam cerita pendek tersebut yang menyatakan bahwa Gus Usup sakit perut setelah
ia menanggalkan jaketnya dan ternyata di dalam jaket tersebut terdapat Batu
Akik Sisik Naga yang biasanya melingkar di jari manis Gus Usup.
Cerita pendek ini
mengajarkan kita untuk tetap menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Kita harus menjalankan ibadah karena Allah, bukan untuk dilihat orang
lain. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam
cerita pendek tersebut.
Gus Usup sepertinya juga tahu walau tidak
melihat. Ini terbukti saat kami salat berjamaah waktu belajar mengaji di pondok
dahulu. Seperti biasa, kami yang waktu itu masih anak-anak suka bergurau,
saling menggoda, tertawa cekikikan dan saling
mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling belakang.
Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf terdepan
bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki dengan
sajadah. Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa yang
tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama kalau ada
Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap Gus
Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan
dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat
berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah
salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya,
pernah diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor
memasukkan pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya.
Muhdlor tidak tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari
mengaji Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia
tak berani ke pondok.
Cerita pendek 'Sisik
Naga di Jari Manis Gus Usup' karya M.Shoim Anwar ini memang nyata adanya. Bahwa
masih ada seorang ahli agama lulusan pesantren tetapi tidak menyombongkan
dirinya, tidak ingin dipanggil Gus karena merasa sama dengan yang lain. Namun masyarakat
tetap memanggilnya Gus dan sangat menghormatinya. Menjalankan kehidupan
sehari-hari dengan ibadah yang tekun.
n