Jumat, 07 Mei 2021

TIGA SAJAK MASHURI

 

Puisi 1

            Hantu Kolam

: plung!

 

di gigir kolam

serupa serdadu lari dari perang

tampangku membayang rumpang

 

mataku berenang

bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap

koral di dasar yang separuh hitam

dan gelap

tak ada kecipak yang bangkitkan getar

dada, menapak jejak luka yang sama

di medan lama

 

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai

matahari

aku terkubur sendiri di bawah timbunan

rembulan

segalanya tertemali sunyi

mungkin…

 

“plung!”

 

aku pernah mendengar suara itu

tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu

yang jatuh

kerna kini kolam tak beriak

aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Banyuwangi, 2012-12-03

 

Puisi 2

Hantu Musim

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan

kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga

unggas – yang pernah mampir di pinggir semi

semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut

pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata

itu tak lebih hanya mengenal kembali peta

lama, yang pernah tergurat berjuta masa

 

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular

sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan

yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang

pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu

mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

 

di situ, aku panas, sekaligus dingin

sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

di telaga, tetapi bayangannya selalu

mengirimkan warna sayu, kelabu

dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya

dengan atau tanpa cerita tentang musim

yang terus berganti…

 

Magelang, 2012

Puisi 3

Hantu Dermaga

mimpi, puisi dan dongeng

yang terwarta dari pintumu

memanjang di buritan

kisah itu tak sekedar mantram

dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar

ia serupa pendulum

yang dikulum cenayang

dermaga

ia hanya titik imaji

dari hujan yang berhenti

serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal

tertambat di terminal awal

 

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini

dalam kematian, mungkin kelahiran

kedua

segalanya mengambang

bak hujan yang kembali

merki pantai

telah berpindah dan waktu pergi

menjaring darah kembali

 

Sidoarjo, 2012

            Sebelum membaca makna tiga sajak karya Mashuri yang berjudul Hantu Kolam, Hantu Musim, dan Hantu Dermaga  pembaca sudah dibuat tertarik oleh judulnya. Ketiga sajak tersebut menggunakan kata “hantu” sebagai daya pikat yang tentunya menjadi simbol dari penulis. Sajak yang ditulis tahun 2012 tersebut termasuk dalam karya sastra fiksi. media dalam penyampaian gagasan dan ide dalam diri penyair.

            Banyak masyarakat yang menganggap kata “Hantu” merupakan penggambaran sebuah makhluk tak kasat mata yang bersifat mistik. Jika dipahami satu per satu puisi yang dibaca maka akan menemukan makna lain dari perspektif awal kita. Adanya keterkaitan antara isi dan judul dari ketiga puisi karya Mashuri di atas dapat dipahami bahwa penggunaan kata ‘Hantu’ dapat dimaknai sebagai hal yang tidak berwujud namun terkadang membuat orang lain merasa terganggu akan kehadirannya sehingga merasa tidak nyaman.

            Hal tersebut membuat ketiga isi sajak Mashuri yang berjudul Hantu Kolam, Hantu Musim, dan Hantu Dermaga memiliki kesinambungan satu sama lain. Setiap puisi memiliki kerisauan yang menyedihkan apabila dibayangkan oleh pembaca. Penulis mengulang ingatan pada masa lalu yang dianggap sebagai sebuah kenangan buruk dan selalu terbayang-terbayang jika ingatan itu muncul. Jika sajak Mashuri di atas kita kita kaitkan dengan keadaan saat ini bahwa sesungguhnya dalam hidup terkadang kita akan merasa sendiri dan kesepian. Kita hanya berteman dengan sunyi serta hening.

Puisi pertama berjudul “Hantu Kolam” menggambarkan mengenai keterpurukan atas sepinya hidup yang dirasakan seseorang. Pada puisi pertama ini dapat dimaknai bahwa manusia diumpakan sebagai ikan yang hidup di kolam yang dalam dan gelap. Penggunaan kata ‘kolam’ dapat dimaknai bahwa kata tersebut sebagai simbol dari  dunia yang ditinggali oleh tokoh ‘aku’. Beberapa goresan luka yang dirasakan ‘aku’ pada puisi pertama mengakibatkan kesedihan yang selalu dirasakan secara terus menerus. Ia mengharapkan sebuah cahaya dapat menariknya dari kesunyian ini. Namun hanya bisa pasrah menerima kehidupannya yang diselimuti luka dan kenangan buruk. Tidak ada yang menolongnya untuk bangkit dari keterpurukan sehingga memendam kesunyian itu seorang diri.

            Puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” menggambarkan bentuk ingatan kenangan lain yang dirasakan “aku”. Pada puisi kedua tersebut dapat dipahami bahwa masih adanya kenangan yang dirasakan penulis berdasarkan kejadian di suatu musim tertentu. Dari beberapa baris dapat diketahui  bahwa terdapat berbagai rangkaian kejadian indah yang tercipta pada suatu waktu  tertentu. Seperti yang terliahat di bait ketiga dan keempat yang menjelaskan tentang perasaan penulis saat musim hujan.

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular

sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan

yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang

pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu

mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

 

di situ, aku panas, sekaligus dingin

sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

di telaga, tetapi bayangannya selalu

mengirimkan warna sayu, kelabu

dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya

dengan atau tanpa cerita tentang musim

yang terus berganti…

 

Baris puisi di atas menceritakan saat musim hujan terdapat masa-masa indah tentang percintaan yang sulit untuk dilupakan. Ingatan tersebut membuat seluruh tubuhnya merasa kacau tidak karuan. Kenangan baik maupun buruk sejatinya pasti akan meinimbulkan kerisauan pada seseorang yang mengalaminya. Karena hal itu menjadikan kita kembali merasakan saat berada pada ingatan masa dulu.

Puisi ketiga yang berjudul “Hantu Dermaga” menggambarkan mengenai ingatan dimiliki seseorang untuk mengusahakan hidupnya pada lingkungan keadaan yang tidak pasti dalam mencapai sebuah keberhasilan dengan segala cara yang mengorbankan hidupnya. Hal tersebut dapat dilihat pada bait di bawah ini,

segalanya mengambang

bak hujan yang kembali

merki pantai

telah berpindah dan waktu pergi

menjaring darah kembali

 

            selain itu pada puisi ketiga juga memiliki makna bahwa semua hal yang menjadi titik rehat seseorang hanyalah sebuah tipu muslihat. Titik tersebut menjadikan seseorang masih mengingat kejadian di masa lalu. Setelah membaca ketiga sajak di atas, dapat diuraikan dan disimpulkan bahwa ketiga sajak Mashuri tersebut selalu membicarkan mengenai bayang-bayang kenangan dan masa depan yang dimiliki seseorang. Kenangan yang dirasakan tersebut dapat berupa kenangan baik maupun buruk sehingga hal tersebut dapat menghantui dan  mengganggu penulis. Kejadian yang masih jelas oleh ingatan seseorang secara tidak sadar akan menciptakan suatu kenangan tersendiri. Kenangan buruk akan menimbulkan sisi negatif yang membuat hidup orang tersebut tidak akan pernah maju dan selalu terpuruk dalam kesedihan. Sedangakan kenangan yang baik akan memberikan nilai positif bagi seseorang untuk menjalani kehidupan.

Sajak yang ditulis Mashuri juga memiliki kekurangan dan kelebihan Untuk kekurangan pada keseluruhan dari tiga karya sastra tersebut yakni dapat dilihat pada sebagian penggunaan kata kiasan yang masih asing sehingga menyulitkan pembaca memahami setiap barisnya. Setiap karya yang memiliki kekurangan pasti berdampingan dengan kelebihan. Kekurangan yang disampaikan pembaca dapat digunakan penulis sebagai kritik untuk memperbaiki atau mengevaluai karyanya, sedangkan kelebihan yang disampaikan pembaca digunakan penulis sebagai bentuk pujian atas karya yang disajikan. Pada ketiga sajak karya Mashuri di atas dapat disampaikan bahwa kelebihannya yakni Mashuri dapat menampilkan runtutan puisi yang memiliki keterkaitan bidang atau variabel dalam judul yang berbeda. Hal ini dapat dinilai pembaca sebagai karya yang baru meskipun sudah diterbitkan pada tahun 2012 namun masih berhubungan antara kejadiaan saat ini dengan gambaran kejadian yang disajikan penulis.

Sabtu, 24 April 2021

CERPEN "SULASTRI DAN EMPAT LELAKI" KARYA M. SHOIM ANWAR


            Ulasan kali ini tentang cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar yang cukup membuat penasaran dari judulnya. Sebelum membahas cerpen ini lebih jauh, mari kita berkenalan dengan penulisnya yang tentu sudah tidak asing lagi yaitu M. Shoim Anwar. Beliau sudah memiliki jam terbang tinggi dalam hal menciptakan sebuah karya sastra yang memiliki nilai estetika bagi penikmatnya. Banyak judul cerpen yang telah diterbitkan oleh M. Shoim Anwar diantaranya Di Jalan Jabal Al-Kaabah, Tahi Lalat, Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup, Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Pada kesempatan ini  kita akan membahas cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat lelaki. Siapakah Sulastri dan empat lelaki? Ada apa dengan mereka? Mari kita kupas lebih dalam makna cerpen ini!

Karya sastra merupakan sebuah ide yang dituangkan penulis dengan memperhatikan nilai estetika. Terdapat beberapa jenis karya sastra yang sering kita jumpai contohnya puisi, novel, pantu, cerpen, dan sebagainya. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anwar tersebut menceritakan nasib dari Sulastri yang memiliki permasalahan dan sebagian besar permasalahan tersebut berhubungan dengan lelaki. Sulastri sudah menikah dan memiliki suami yang bernama Markam. Markam merupakan suami dari Sulastri. Pasangan suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.

            Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki ini menceritakan seorang wanita bernama Sulastri yang lokasinya saat itu berada di bibir pantai Laut merah. Kemudian Sulastri bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dipulangkan ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi mencoba menangkap Sulastri untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudian diberikan kepada para mafia sebagai perantara. Setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih mirisnya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.

Hingga pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari petugas polisi tersebut dan berdiri di posisi awal kedatangannya, ia mengingat masa lalun dengan suaminya yang bernama Markam. Mereka bertempat tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.

            Sulastri pun merasa bahwa ia tidak bisa hidup seperti ini terus dengan mengandalkan Markam. Ditambah lagi ia harus membiayai kehidupan anak mereka. Pada awal-awal Markam bergulat dengan dunia pertapaan untuk mendapatkan keris dan tombak, Sulastri sempat mengira akan mendapatkan hal yang dapat ia gunakan untuk membiayai kehidupan keluarganya tersebut, namun lambat laun kesabaran Sulastri menunggu kejayaan keluarganya pun mengikis. Suatu ketika Markam pulang sehabis bertapa dan Sulastri murka dengan keadaan saat itu. Markam pulang tanpa membawa hasil apapun, sehingga hal tersebut membuat Sulastri semakin murka, ia mengambil dan melempar buku yang berisi kiranya ilmu untuk bertapa tersebut ke arah muka sang suami, Markam. “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa dengan meninggalkan kemewahan pada keluarganya. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta benda yang berlimpah. Tapi kau malah meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”. Begitulah kemurkaan Sulastri yang dilontarkan terhadap Markam sang suami. Mendengar istrinya begitu murka, Markam mengambil sesuatu dari dapur dan pergi meninggalkan rumah untuk mengabdikan hidupnya bertapa agar mendapatkan benda-benda pusaka yang sangat ia dambakan tersebut.

            Setelah bayang-bayang tentang suaminya memudar, Sulastri terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki yang disebut dengan Firaun. Sulastri menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada seseorang yang ia mintai pertolongan, di sana ia melihat polisi yang akan menangkapnya tadi. Namun polisi tersebut bukannya menolong malah ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam pos. kejadian tersebut merupakan kali kedua polisi dengan Sulastri bertemu di tempat yang sama. Firaun memiliki badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Di tengah kejar-kejaran tersebut muncul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dengan membawa tongkat. Musa, itulah namanya. Sulatri mencoba meminta tolong, namun Musa memberikan isyarat bahwa ia tidak bisa membantu Sulastri hingga akhirnya sosok Musa menghilang. Kemudian Sulastri tertangkap kembali oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga kesakitan. Tiba-tiba muncul kembali sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat  Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia terkejut, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi.

Setelah mebaca cerita pendek Laut Merah di atas, yang dapat saya simpulkan yaitu  dal segi religi. Markam melakukan pemujaan pada berhala yang sudah pasti itu melanggar perintah agama. Ia rutin bertapa dengan keris dan tombak di mana hal tersebut tidak dibenarkan berdasarkan agama terutama agama islam meskipun memang pada dasarnya setiap manusia bebas memiliki dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Dengan perilaku yang seperti itu ia menelantarkan anak dan istrinya sehingga hal tersebut juga memiliki pandangan tidak baik di mata suatu agama yang dianut. Apabila membaca dari sudut pandang perempuan pasti kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata sempurna yakni kebahagiaan. Markam seorang suami yang mencampakan anak serta istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Markam memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam ikatan pernikahan seorang perempuan akan merasa tersakiti dan tertekan. Namun di sisi lain, Sulastri juga tidak dapat dibenarkan karena jika memang suami melakukan perbuatan yang kiranya tidak baik atau bertentangan dengan agama yang dianut seharusnya ia sebagai istri dapat mencegah. Beberapa kali Sulastri mencoba bersabar menahan diri untuk tidak marah pada Markam. Tetapi Sulastri mula lelah dengan kehidupan yang ia rasakan.

            Apabila dilihat dari aspek sosial,  cerpen tersebut menceritakan perempuan yang mengalami bentuk kekerasan. Kekerasan tersebut berupa kekerasan secara fisik yang dialami Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga hingga merasa kesakitan. Hal itu menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk siksaan berupa kekerasan fisik. Dapat kita lihat pada kehidupan nyata, bahwa perempuan sering mengalami pelecehan dan KDRT.

            Aspek ekonomi dapat dilihat pada bagian cerita Sulastri yang murka pada sang suami karena merasa hidupnya selalu sengsara. Ia tidak mendapatkan nafkah dari Markam  yang sering meninggalkan pekerjaannya dan keluarganya, ia lebih memilih mengabdi bertapa untuk mengandalkan keris dan tombak sehingga keadaan ekonomi pada keluarganya benar-benar kacau. Karena merasa putus asa dengan hidupnya, Sulastri memutuskan untuk pergi ke Arab dengan harapan mendapatkan pendapatan cukup seperti yang diinginkan sejak dulu. Namun di sana Sulastri mengalami beberapa kejadian yang tidak diduga. Ia tetap tersiksa dan terpuruk sama halnya dengan di Indonesia. Dari hal tersebut dapat dijelaskan, bahwa ekonomi berpengaruh sangat penting terhadap hidup seseorang. Bahkan ekonomi juga menentukan jalan hidup yang akan dilakukan.

Keseluruhan cerpen itu sendiri menjelaskan tentang imajinasi penulis yang sangat bagus. Menceritakan seorang pribumi bernama yang mengadu nasib ke Negara Arab namun mendapat berbagai cobaan. Empat lelaki yakni Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah kiasan yang dibuat penulis. Dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidup Sulastri dapat dipahami bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kejayaan mereka sendiri, tidak perlu mengandalkan kepada orang lain. Meskipun ketika seorang perempuan yang telah menikah, ia juga harus hidup mandiri tak boleh bergantung sepenuhnya pada suami.

Sosok Sulastri dan Empat Lelaki tersebut dapat disimpulkan bahwa hidup selalu berurusan dengan orang yang baik dan orang jahat. Hal ini sama seperti sosok Musa dan Firaun yang memiliki sifat berbeda. Selain itu, polisi lelaki yang diharapkan dapt menolong Sulastri saat dikejar Firaun justru membiarkannya.  Hal tersebut diumpamakan bahwa seseorang yang kita andalkan, belum tentu dengan ikhlas menolong. Semua ingin mendapatkan upah dan imbalan atas perbuatannya. Kejadian seperti itu memang ada di dunia nyata saat  ini. Kebanyakan orang menolong dengan pamrih. Mengharapkan imbalan atas jasa yang telah dilakukan.

Selain itu, pada aspek agama juga terlihat dalam cerpen ini. Banyak manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik dan dilarang agama namun dengan sadar tetap melakukannya. Mereka akan bertobat jika sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Seprti kedudukan, kejayaan, kekuasaan, kekayaan dan masih banyak lagi. Namun jika keinginan mereka tidak terkabul, akan menghalalkan segala cara demi mendapat hasil secara instan. Sesungguhnya Allah akan memberikan apapun asalkan manusia itu berusaha dan berdoa dengan sungguh-sunguh.

Suatu karya sastra pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, tak terkecuali pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Kekurangannya yaitu terdapat penjelasan di beberapa kalimat yang dirasa kurang padu. Membuat jalan cerita menjadi ambigu tanpa adanya rincian yang lebih dalam lagi. Kelebihannya adalah imajinasi penulis yang saya anggap sudah terletak pada level tertinggi untuk sebuah gambaran yang dapat memikat penikmatnya. Penggunaan unsur bahasa dari arab juga menambah kesan estetik jalan cerita tersebut. Begitulah kiranya yang bisa saya uraikan tentang cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar.

Sabtu, 17 April 2021

CERPEN DI JALAN JABAL AL-KAABAH KARYA M. SHOIM ANWAR

Cerpen Di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar ini berlatar belakang suasana di tanah suci. Di sini kita sebagai pembaca diajak untuk menyelami kehidupan layaknya berada di tanah suci. Budaya di sana ternyata tidak beda jauh dengan di Indonesia yag terdapat banyak pengemis di area pemakaman. Pengemis mengharapkan belas kasih dari para peziarah dengan memakai pakaian yang dianggap tidak layak.

Cerpen ini bercerita tentang pola pikir masyarakat bahwa segalanya telah diatur oleh Tuhan. Hal itu memang benar adanya, tetapi sebagai manusia kita juga  harus berusaha untuk mencapai apa yang kita inginkan. Setelah saya membaca cerpen ini, dapat disimpulkan jika masyarakat menganggap kegiatan mengemis juga sebagai jaln dari Tuhan yang sudah diatur rezekinya. Bahkan terdapat salah satu pengemis yang berpura-pura cacat untuk mencari iba dari orang lain. Di sini terdapat sudut pandang yang berbeda antara tokoh yang pro dengan kontra. Menurut tokoh yang pro, mengemis tidak ada salahnya karena mereka tidak pernah memaksa kita untuk memberi. Sedangkan menurut tokoh yang kontra, mengemis sama halnya dengan menipu yang melegalkan segala cara demi mendapat hasil yang diinginkan.

Hal ini kembali lagi pada persepsi masing-maing orang yang tentu berbeda dalam menyimpulkan sesuatu. Menurut pendapat saya, pola pikir tokoh yang kontra sangatlah benar. Mengemis sama halnya dengan menipu, ada yang berpura-pura cacat padahal sedang sehat. Pengemis beranggapan bahwa rezeki itu sudah diatur Tuhan dengan tepat, tetapi mereka tidak bekerja dengan baik malah meminta-minta. Sebenarnya masyarakat masih belum memahami arti rezeki di tangan Tuhan. Maksud dari pernyataan itu yakni jika kita telah berusaha dan berdoa, maka  kita akan mendapat rezeki dari Tuhan. Namun jika kita malas berusaha dan berdoa kita tidak akan mendapatkannya.

Dalam cerpen tersebut dapat dilihat bahwa M. Shoim Anwar sebagai penulis ingin menjelaskan makna dari  “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” Pengemis yang meminta-minta sebenarnya masih sehat walafiat tak memiliki kekurangan satu pun. Mereka berbohong dengan berpura-pura cacat untuk menarik simpati dari orang lain, melegalkan segala cara dengan bermalas-malasan demi mencari rezeki.

Menurut saya cerpen Di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar sangat menarik dan memiliki penggambaran yang baik. Karena pembaca terhanyut saat membaca jalan cerita yang berlatar belakang budaya di tanah suci. Serta terdapat beberapa sudut pandang yang bisa disimpulkan sendiri oleh pembaca.

 

 

 

 

Sabtu, 10 April 2021

Cerpen "Tahi Lalat" karya M. Shoim Anwar

 Tahi Lalat

Penulisan karya sastra selalu mempunyai daya pikat masing-masing. Hal itu dikarenakan penulis memiliki gaya sebagai karakteristik karyanya. Cerpen ‘Tahi Lalat’ oleh M. Shoim Anwar merupakan salah satu karya satra dengan latar belakang kehidupan bermasyarakat. Pada cerita pendek tersebut Shoim Anwar menonjolkan  gambaran masyarakat di sebuah lingkungan pedesaan. Seorang tokoh "Aku" menceritakan istri Lurah yang menginginkan kekuasaan. Warga desa mengatakan bahwa istri Pak Lurah memiliki tahi lalat di dadanya. Hal itu menyebabkan warga desa khususnya para laki-laki  penasaran dengan kebenaran isu yang beredar. Selain isu tahi lalat di salah satu bagian tubuhnya, istri pak lurah juga dianggap sebagai perempuan yang kurang baik karena bos proyek dari pembangaunan jalan di desa sering mendatangi istri Lurah ketika Pak Lurah tidak berada di rumahnya.

Saat ini masyarakat selalu memandang orang lain sebelah mata saja. Mereka tidak mengetahui kebenaran yang terjadi, dan menganggap apa yang mereka lihat selalu benar. Isu bos proyek dan istri lurah menjadi ramai karena bu lurah sendiri merupakan istri kedua dari pak lurah. Pada akhir cerita ketika pulang tokoh "Aku" yang saat itu berada di rumah ditunjukkan  lukisan yang menggambarkan seorang perempuan dengan kulit sawo matang dengan rahi lalat di dada oleh anaknya. Sontak saja tokoh "Aku" terkejut ternyata perempuan dalam lukisan tersebut adalah istri lurah. Karena parahnya isu yang beredar menyebabkan anak kecil sampai mengetahui tentang tahi lalat yang berada di dada istri lurah.

Pada cerpen tersebut, tokoh istri lurah lebih banyak diperbincangkan karena isu tentang dirinya. Namun sebenarnya tokoh lurah di sini perlu juga disoroti terkait kinerjanya sebagai seorang pemimpin desa yang sering ingkar janji dan menyalahgunakan kekuasaan. Menurut saya sebagai pembaca, sebenarnya banyak kejanggalan yang ditutupi dengan kasus yang lain. Kasus pak lurah ingkar janji yang tidak dipedulikan warga, tetapi malah membicarakan istri pak lurah yang diduga memiliki tahi lalat di dada dan berhubungan khusus dengan bos proyek pembangunan desa tersebut. Hal itu dpaat diarktikan bahwa sekecil apapun rahasia yang disembunyikan, suatu saat akan terbongkar. 

Cerpen ‘Tahi Lalat’ berhasil membuat saya sebagai pembaca tertarik karena perumpamaan yang disuguhkan membuat saya semakin penasaran dengan ceritanya.  Isi cerpen ‘Tahi Lalat’ masih memiliki kesinambungan pada kehidupan masyarakat saat ini yang mudah termakan berita tanpa tau kebenarannya. Menjadikan isu tersebut menyebar dan ramai diperbincangkan setiap hari. Penyampaian isi cerita mudah dipahami karena M. Shoim Anwar menggunakan bahasa yang ringan dan juga simbol-simbol yang mudah dimengerti pembaca. Alur cerita sangat rapi dan tidak membuat pembacanya bingung. Sehingga penyampaian pesan dari cerita tersebut dapat ditangkap dengan jelas. Karya sastra tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan cerpen ‘Tahi Lalat’ karya M. Shoim Anwar tersebut.  Kelebihan dari cerpen "Tahi Lalat" adalah perumpaan atau simbol yang digunakan membuat cerita ini menarik. Kekurangannya yaitu tentang tokoh-tokoh yang belum jelas identitasnya seperti tokoh "aku" yang menyulitkan pembaca memahami peran rokoh tersebut di dalam cerpen.

Jumat, 02 April 2021

MENGULAS CERITA PENDEK "SISIK NAGA DI JARI MANIS GUS USUP" KARYA M. SHOIM ANWAR

 

Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup

 Karya M. Shoim Anwar

Gus Usup bukanlah orang biasa. Kami menghormatinya sebagaimana kami menghormati orang-orang terhormat. Penghormatan terhadap Gus Usup telah dilakukan para tetua sehingga tak ada alasan buat kami untuk tidak berlaku hormat padanya. Ketika dia melintas di jalan, orang-orang menyapanya dengan penuh rasa hormat, sedikit membungkukkan badan, menanyakan mau ke mana, hingga mempersilakan mampir ke rumah. Sebuah kehormatan luar biasa bila Gus Usup berkenan singgah dan menyeruput kopi yang kami suguhkan. Tentu saja ini jarang terjadi. Gus Usup menjawab sapaan kami dengan tersenyum sambil terus mengayuh sepedanya.

Assalamu’alaikum, Gus,” begitulah kami menyapa ketika beliau lewat. Salam itu dijawabnya dengan sopan pula.

“Mampir dulu, Gus.”

Inggih, terima kasih,” jawabnya lembut.

Gus Usup bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya kami sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula. Kami tidak pernah menggunjing tentangnya. Segala yang terkait dengan Gus Usup kami anggap sebagai sesuatu yang wajar. Tidak ada prasangka buruk sekecil biji zarah pun terhadap Gus Usup. Sikap dan pembicaraan para orang tua kami seakan memberi contoh bahwa begitulah yang harus kami lakukan terhadap Gus Usup, termasuk kepada saudaranya seperti Gus Man, Gus Mak, Gus Roz, dan Gus Zin. Kami memang memanggil dengan sapaan “gus” untuk laki-laki keluarga pondok. Di antara mereka itu hanya Gus Usup yang bergaul akrab dengan siapa saja.

Gus Usup terbilang tampan. Wajah dan kulitnya kuning bersih. Rambutnya selalu dipotong pendek. Karena tak pernah memakai kopiah, rambut bagian depan yang agak panjang terlihat ikal menggelombang. Alisnya cenderung tebal. Dia tak pernah memelihara kumis dan jenggot, tapi tepat di bagian bawah bibirnya terdapat rambut yang dibiarkan tumbuh hingga membentuk gerumbul yang manis di wajahnya. Sering dia mengangkat ujung sarung hingga sebatas dengkul saat berjalan. Bulu-bulu keriting kelihatan tumbuh lebat di kakinya yang kuning. Mungkin karena ketampanannya itulah Gus Usup menjadi anak kesayangan Bu Nyai.

“Sejak anak-anak, Gus Usup itu suka main dengan anak-anak kampung,” cerita Guk Mat sebagai teman sepermainannya.

“Apa kesukaannya, Guk?” kami bertanya.

“Menghanyutkan diri dengan rakit dari batang pisang, lalu mandi bersama-sama di Kali Dam sambil belajar renang gaya sungai,” lanjut Guk Mat sambil memperagakan renang gaya sungai. “Gus Usup juga suka mencari batu-batu kecil di dasar sungai.”

“Untuk apa batu?”

“Katanya itu batu akik.”

“Kalau ketahuan keluarga pondok, Gus Usup dimarahi apa nggak, Guk?”

Guk Mat tersenyum. Sepertinya dia memang punya kenangan masa kecil yang seru dengan Gus Usup.

“Ya, sering. Gus Man itu, kakaknya yang paling besar, sering mencarinya. Gus Usup diseret pulang kalau ketahuan mandi di sungai. Makanya kalau habis mandi Gus Usup nggak berani langsung pulang.”

“Kenapa, Guk?” kami makin ingin tahu.

“Kalau habis mandi di sungai mata pasti merah warnanya. Makanya kalau pulang harus nunggu lama sampai nggak merah lagi. Tapi itu dulu,” kata Guk Mat. “Sekarang Kali Dam sudah tercemar sampah dan limbah.”

Inilah satu kebiasaan lain Gus Usup. Kami hampir selalu melihat dia menggigit-gigit benda kecil semacam tusuk gigi hingga kedua rahangnya bergerak-gerak. Sering dia menggapai ranting-ranting kecil ketika berjalan, atau bagian-bagian tertentu dari pagar bambu di tepi jalan yang dilewatinya untuk digigit-gigit menggantikan yang telah habis di bibirnya. Mohon maaf kalau perumpamaan kami tidak tepat. Kesukaan Gus Usup menggigit-gigit lidi itu mirip kebiasaan burung labet yang hendak bersarang.

Seperti yang sering kami lihat, pagi itu tampak Gus Usup berjalan meniti pematang di jauh sana. Dia kembali pulang setelah semalam bermain kartu remi dengan orang-orang kampung di sebelah timur, di rumah Wak Parmin dekat kuburan. Rumah Gus Usup di lingkungan pondok dengan kampung kami memang dipisah oleh bentangan sawah. Kami tetap tahu meski dia berjalan sambil sarungnya diangkat hingga menutup kepala. Bila Gus Usup tidak pulang, Fadilah, keponakannya, sering mencari di pojok kampung tempat dia bermain kartu.

Meski umurnya terbilang lebih dari cukup, Gus Usup belum menikah. Guk Mat, teman sepermainan Gus Usup itu, sudah memiliki tiga orang anak. Tapi Gus Usup belum ada tanda-tanda mau menikah. Dulu kabarnya dia akan dijodohkan dengan Ning Sokhifah, anak Gus Bay dari pondok utara, tapi tak ada kelanjutannya. Justru Ning Sokhifah malah menikah dengan Gus Roz, adik Gus Usup dari ibu yang berbeda. Entah mengapa Gus Usup belum menikah, padahal kalau dia mau, tinggal memilih bidadari di kampung kami yang paling cantik pasti terkabul. Kami tahu hampir semua gadis di sini ingin jadi menantu keluarga pondok. Para gadis pun diam-diam berusaha menampakkan diri ketika Gus Usup yang tampan itu lewat. Tapi memang begitulah adanya. Keluarga pondok biasanya mengambil menantu juga dari keluarga pondok yang lain, meskipun antarmereka masih memiliki hubungan kerabat. Tapi sayang, hubungan antarpondok sekarang banyak yang kurang akrab karena para pengasuhnya terlibat dukung-mendukung partai politik yang berbeda. Mereka bahkan bersaing tidak sehat dalam pencalonan anggota parlemen maupun kepala daerah. Syukurlah hingga detik ini Gus Usup tidak termakan godaan partai politik hingga bisa bergaul dengan siapa saja.

Sebagai teman sepermainan Gus Usup, Guk Mat bekerja di pabrik gula. Tapi pekerjaan Gus Usup tidak terlalu jelas buat kami. Yang pasti Gus Usup rajin ke sawah, baik yang berada di belakang pondok maupun di sebelah utara kampung. Segala yang ditanam Gus Usup tumbuh dengan baik. Bila musim kemarau, tanaman terong, lombok, serta tomat berbuah dengan lebat. Saat malam, ketika kami berburu jangkrik sambil membawa obor, terong-terong itu sering kami curi untuk dimakan mentah-mentah, meski banyak juga di antara kami takut kalau terkena sesuatu setelah makan terong Gus Usup.

“Perutmu bisa mlembung kalau nyolong terong Gus Usup,” kata Guk Mat menakut-nakuti kami.

Seperti diceritakan oleh Guk Mat, dulu waktu mandi Gus Usup suka mencari batu akik di dasar sungai. Dan itulah yang paling menjadi perhatian bagi kami: cincin akik yang melingkar di jari manis Gus Usup. Batu akik sebesar ibu jari itu bermotif sisik naga, berwarna cokelat dengan ornamen seperti sisik yang saling menindih. Saat bermain kartu, terutama ketika malam menjelang ada orang hajatan di kampung, akik sisik naga Gus Usup itu hampir pasti menjadi pembicaraan. Dengan memakai akik itu konon Gus Usup tidak pernah kalah dalam bermain kartu. Kalau toh kalah dengan taruhan uang kecil-kecilan, kata orang itu sengaja mengalah demi menyenangkan lawan mainnya seperti Guk Mat, Guk Pin, Wak Parmin, Wak Rokemat, Kang Marsud, Kang Maskut, Kang Gangsar, Cak Kamal, Cak Nan, dan beberapa orang lainnya.

Mungkin karena sering mendengar cerita soal akik Gus Usup, tidak sedikit yang berusaha mendekat sambil menuding-nuding akik itu, terutama mereka yang berumur belasan tahun. Gus Usup hanya tersenyum sambil tetap bermain kartu remi di acara hajatan warga.

 “Kalau pegang kamu nggak bisa kencing dan berak,” kata Gus Usup.

 “Masak, Gus!?” Salah satu dari mereka, Dulah namanya, terjingkat.

 “Lo, beneran. Nggak bohong ini,” ujar Gus Usup kalem sambil tersenyum.

 “Demi Allah, Gus?”

 “Demi Allah,” Gus Usup manggut-manggut.

Mendengar jawaban Gus Usup tiba-tiba semuanya terdiam. Tergambar perasaan takut pada wajah mereka. Mereka agak menjauh. Tapi Dulah kembali nyeletuk, “Musyrik itu, Gus. Masak pegang aja nggak bisa kencing dan berak?”

“Kamu nggak percaya?” tanya Gus Usup sambil meletakkan sebuah kartu remi ke deretan di depannya.

“Masak?”

“Buktikan saja kalau berani,” Gus Usup tersenyum sambil mengulurkan lengan kirinya, sementara kartu reminya dipindah ke tangan kanan. “Kalau tidak terbukti nanti saya beri uang kamu.”

 “Saya berani, Gus. Bismillaahir rahmaanir rahiim.” Dulah pun menyentuhkan ujung telunjuknya ke akik Gus Usup, agak sedikit gemetar tapi berani.

 “Sudah?” tanya Gus Usup.

 “Sudah, Gus. Nggak apa-apa kan?”

 “Ayo, sambil memegang sekarang kamu kencing dan berak di sini!”

 “Wah ya nggak mau, Gus….”

 “Nggak bisa kan? Tadi saya bilang kalau pegang. Kalau ke WC berarti sudah tidak pegang.”

Semua yang hadir tertawa. Dulah cengar-cengir. Beberapa saat setelah itu giliran Gus Usup mengambil sebuah kartu remi yang tertumpuk di depannya, ditepuk-tepuk dulu punggung kartu itu dengan jemari yang dihiasi sisik naga, digeser, diletakkan di depannya, kemudian diintip pelan-pelan dari sudutnya.

Ngandang!” kata Gus Usup sambil membuka semua kartu di tangannya dengan cekatan, diletakkan di lantai. Benar, kali ini dia memenangkan permainan. Diraupnya uang recehan yang menumpuk di tengah karena sudah lima kali putaran belum ada yang memenangkan. Yang lain cuma manggut-manggut kecut. Dengan sigap Gus Usup kembali mengocok tumpukan kartu dan membagikan kepada para pemain.

“Sisik naga dilawan,” kata Cak Nan sambil meraih gelas kopi.

“Giliranku menang.” Wak Marsud menepuk-nepuk sisik naga di jari Gus Usup. Gus Usup hanya tersenyum.

“Habis recehan saya, Gus,” kata Guk Mat.

“Masih sore kok sudah habis,” Gus Usup menimpali. “Tukarkan!”

Semua yang bermain mengerti apa yang dimaksud Guk Mat. Mereka berharap Gus Usup membagikan kembali uang yang telah dimenangkan. Dan memang demikianlah. Mereka yang bermain dengan Gus Usup boleh dibilang tak pernah kalah atau merugi. Mungkin juga tak pernah benar-benar menang. Di akhir permainan, atau ketika lawannya sudah kehabisan uang, Gus Usup akan memberikan kembali uang itu. Mereka lama-lama merasa sungkan. Ketika Gus Usup kalah dan kehabisan uang, mereka pun memberikan kembali uang modal kepada Gus Usup. Akik sisik naga di jari manis Gus Usup akhirnya menjadi harapan mereka, karena kalau Gus Usup menang pasti uangnya akan dibagikan kembali.

Dulu, ketika kami belajar mengaji dan berlatih bela diri di pondok, akik sisik naga Gus Usup juga menjadi perhatian. Kami berlatih tenaga dalam. Untuk mengujinya, salah seorang di antara kami harus nyetrum, sejenis trans tapi masih dalam kesadaran utuh sebagai penyerang. Gus Usup dengan enaknya berkata kepada kami sambil meletakkan akik sisik naganya di lantai. Kami tahu, akik itu sudah diisi oleh Gus Usup dengan bacaan tertentu.

“Silakan nyetrum, datangkan semua kekuatan dan ambillah ini!”

Benar, kami semua terpental. Tak seorang pun yang berhasil mengambil akik itu meski seluruh tenaga dalam sudah kami datangkan saat nyetrum. Isian akik itu benar-benar berat. Gus Usup tak pernah membuka rahasianya. Entah ayat atau asmaul husna apa yang dibacakan. Kami makin hormat dengan Gus Usup.

Gus Usup sepertinya juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat berjamaah waktu belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang waktu itu masih anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan saling mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling belakang. Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf terdepan bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki dengan sajadah. Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa yang tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama kalau ada Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap Gus Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani ke pondok.

Uang recehan Guk Mat sudah benar-benar habis. Beberapa kali putaran dia tidak pernah memenangkan permainan kartu remi itu. Gayanya membanting kartu sudah tampak bahwa dia agak kesal karena belum pernah nyirik. Sementara dia melihat di depan Gus Usup uang recehan mengumpul sebagai bukti kemenangan. Tiba-tiba Gus Usup pamitan ke belakang. Dia minta permainan dilanjutkan saja. Hari memang semakin beranjak malam. Semua pemain juga sudah pernah pamit ke belakang untuk kencing. Dengan sedikit terburu-buru Gus Usup masuk kembali dan melemparkan jaketnya ke Guk Mat.

“Titip sebentar, biar tidak basah!” kata Gus Usup.

Jaket tentara warna hijau yang sudah memudar itu berada di pangkuan Guk Mat, baunya apak kayak karung karena mungkin sudah lama tak dicuci. Permainan berlangsung terus meski harus melangkahi giliran Gus Usup. Sampai satu putaran usai Gus Usup belum juga kembali. Entah mengapa kali ini lama. Dari tadi memang Gus Usup tampak kurang nyaman sambil memijit-mijit perutnya.

“Mumpung tak ada Gus Usup. Menang!” kata Guk Mat dengan yakin.

“Aku yang harus menang,” Cak Kamal menimpali.

“Jangan mulai dulu. Kita tunggu Gus Usup datang,” usul Cak Nan.

“Kan kita disuruh terus tadi?” Kang Marsud ingin berlanjut.

“Gak enak ah!” sergah Cak Nan.

“Lanjuuut…!” Guk Mat tak mau membuang-buang waktu. Kartu remi itu dikocok dengan cepat. Diletakkan di tengah, barangkali ada yang mau mengocok lagi karena tidak puas. Tidak ada. Guk Mat segera membagikan kartu itu satu per satu. Permainan pun berlanjut. Ketika semua asyik mencermati kartu, Gus Usup muncul dan pamitan pulang dengan terburu-buru. Tanpa menunggu tanggapan dia langsung pergi dengan mengucapkan satu kalimat pendek, “Perutku nggak enak.” Uang recehannya juga ditinggal.

Kepulangan Gus Usup membuat para pemain bersemangat untuk memenangkan. Cuaca malam makin dingin. Guk Mat baru tersadar bahwa jaket Gus Usup masih di pangkuannya. Tanpa berpikir panjang dia memakainya untuk menghangatkan badan. Kepulangan Gus Usup membuat peluang mereka untuk menang makin besar karena musuhnya berkurang satu orang. Kali ini benar-benar tampak serius di wajah mereka. Mata mereka melihat ke lantai ketika ada kartu yang dibanting. Setiap ada kesempatan mengambil kartu selalu dibarengi harapan agar bisa ngandang alias menang. Cara mereka membuka kartu juga sangat hati-hati, ditarik ke depannya dan diintip pelan-pelan dari pojok. Membuka kartu adalah membuka nasibnya sendiri. Tumpukan kartu di depan mereka juga makin menipis, seperti gundukan pasir yang makin lama makin tipis karena disapu angin.

“Nutup!” kata Guk Mat tiba-tiba, sembari membuka kartunya ke lantai. Uang recehan yang menumpuk di tengah itu disiriknya. Dia pun bergegas meraup kartu untuk dikocok ulang. Darah baru tampak merambat di wajahnya.

Tanpa kehadiran Gus Usup permainan bukan makin mengendor, tapi makin bersemangat. Hari makin malam dan masuk ke dini hari. Mereka tidak lagi bertaruh dengan recehan, uang kertas yang tadi hanya ngendon di saku kini keluar dengan warna-warninya. Permainan kali ini bukan sekadar cari hiburan atau menghabiskan waktu, tapi benar-benar mempertaruhkan nasib untuk meraih kemenangan. Putaran demi putaran berlangsung. Meski tidak sama kadarnya, rata-rata dari mereka sudah pernah memenangkan dari putaran-putaran sebelumnya. Lihatlah, uang-uang kertas tampak di depan mereka. Di depan Guk Mat tampak lebih banyak karena dia lebih sering nyirik. Recehan tidak lagi bermakna, bahkan disisihkan.

Tiap rentetan peristiwa pasti mencapai puncaknya. Titik kulminasi terjadi bukan tiba-tiba, tapi mengalir dengan pasti, seperti suhu pada tungku pembakaran yang mendidihkan air. Begitu juga permainan kartu kali ini. Mereka yang kehabisan modal telah tersingkir. Tidak ada lagi pembagian recehan seperti kalau bersama Gus Usup. Kopi-kopi di tempatnya sudah tinggal ampas dan memadat. Ayam berkokok sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi beduk subuh ditabuh. Di arena permainan itu menyisakan tiga orang: Guk Mat, Cak Kamal, dan Kang Marsud. Mereka yang tersisih kini sebagai penonton saja. Sudah lima putaran belum ada yang memenangkan. Sementara tiap ganti putaran uang taruhan selalu ditambahkan.

“Sudah, ini yang terakhir!” kata Kang Marsud ketika memulai lagi permainan.

“Oke, yang terakhir. Ini semua!” Cak Kamal mendorong semua uangnya ke tengah. Tanpa sisa.

Mau tak mau semua harus menambah taruhan sebesar yang disodorkan Cak Kamal. Uang Kang Marsud ternyata tak cukup. Terpaksa harus ditambah dengan recehan yang tadi ditinggalkan Gus Usup di dekatnya.

“Pinjam, Gus,” kata Kang Marsud sambil menghitung recehan.

Inilah pertaruhan nasib di titik-titik akhir. Sudah tak ada lagi taruhan yang ditambahkan. Dompet-dompet sudah terkuras. Tampak mereka makin berkonsentrasi. Kartu yang dibawa juga makin rapat dirahasiakan agar tidak diintip oleh lawan. Cara mereka membanting kartu juga makin keras. Setiap kartu yang dibanting selalu diikuti oleh pandangan mereka. Selalu waswas, jangan-jangan kartu yang dicari sudah terbanting di arena. Mereka yang menonton juga berharap cemas. Ingin tahu siapa yang berhasil meraup uang yang menumpuk di tengah arena itu.

Seperti juga memancing. Ada debaran dan harapan agar ikan segera menggondolnya. Ikan itu kali ini tidak lain adalah kartu remi. Mata mereka makin membuka. Jantung mereka makin mendebar. Alir darah mereka juga makin menderas. Beberapa putaran kartu-kartu yang mereka buru juga belum ketemu. Sepertinya mereka saling mengetahui kartu-kartu yang diburu sehingga dicengkeram makin rapat. Waktu makin merambat dengan pasti. Kokok ayam makin kerap terdengar.

“Nah, ngandang!” kata Guk Mat dengan cepat. Semua kartu yang dipegangnya dibanting ke lantai dengan terbuka. Semua mata spontan ikut menatap. Benar! Guk Mat memenangkan permainan. Wajahnya tampak berbinar-binar. Darah segar sepertinya langsung menderas ke tubuhnya. Gunungan uang di tengah arena langsung diraupnya mendekat. Sementara Kang Marsud dan Cak Kamal melemas karena pertaruhan nasib semalam suntuk harus berakhir dengan pahit. Ketidakhadiran Gus Usup telah membuat dompetnya terkuras. Mereka berdua percaya, sebentar lagi istrinya ngomel-ngomel karena tak kebagian uang belanja. Permainan pagi itu pun bubar.

 Sesampai di rumah Guk Mat langsung masuk kamar. Uang yang tadi digembol dalam perut jaket segera dikeluarkan. Lembar demi lembar menggumpal dengan warna-warna campuran. Sekian banyak rupiah dari banyak orang telah mengumpul di tangan Guk Mat. Dia ingin menghitung cepat-cepat dan menyembunyikan agar tidak ketahuan istrinya.

Guk Mat teringat, di tengah permainan tadi dia juga sempat menyembunyikan uang kemenangan di saku jaket Gus Usup yang dipakainya. Uang itu segera dikeluarkan. Ah, jumlahnya makin banyak pula. Kantong saku jaket sebelah kiri telah dirogohnya. Kini dia berganti merogoh saku jaket sebelah kanan. Terasa ada benda aneh di tangannya. Segera dikeluarkan. Guk Mat terjingkat. Sisik naga! Akik Gus Usup itu ternyata ikut tertinggal di saku jaketnya. Entah ini disengaja atau tidak oleh Gus Usup. Mata Guk Mat tak berkedip melihatnya. Ada getaran di jemarinya.

 Tangan Guk Mat belum juga berubah. Akik sisik naga milik Gus Usup itu terus diperhatikan di kedua ujung jarinya. Dia mulai berpikir, apakah kemenangan terbesar yang diraupnya kali ini terkait dengan akik sisik naga di sakunya? Dia sadar bahwa benda itu milik Gus Usup, tapi lama-lama timbul keinginan pada diri Guk Mat untuk memiliki sisik naga itu. Guk Mat terpaku di atas dipan kamarnya. Uangnya masih menggelasah di tikar. Guk Mat menimbang-nimbang, cara apakah yang paling ampuh agar sisik naga itu terus berada di genggamannya?

Jombang-Surabaya, 2016

 

Pembahasan saat ini berbeda dengan sebelumnya yang selalu mengulas tentang puisi, kali ini saya akan mengulas cerpen berjudul 'Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup' karya M.Shoim Anwar yang telah menghasilkan berbagai judul cerpen salah satunya 'Sepatu Jinjit Ariyanti'

Cerita pendek yang berjudul 'Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup' mengulas tentang batu akik yang dimiliki Gus Usup. Pada cerita pendek tersebut menjelaskan bahwa untuk menghargai orang lain tak perlu memandang jabatan atau pangkat yang melekat. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam cerita pendek tersebut.

Gus Usup bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya kami sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula.' Dari potongan narasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Gus Usup merupakan seseorang yang memiliki status terhormat di wilayahnya sehingga beliau diperlakukan sesuai statusnya. Meskipun disanjung oleh masyarakat sekitar, Gus Usup tetap rendah hati dan masih mau bercengkrama dengan masyarakat sekitar bahkan untuk main kartu pun beliau bersedia.

Batu Akik merupakan batu berwarna yang sering dijadikan permata cincin. Batu Akik juga menjadi simbol atau lambang tertentu serta dapat menangkal penyakit. Pada cerpen tersebut juga dijelaskan bahwa Batu Akik dapat menangkal penyakit. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam cerita pendek tersebut yang menyatakan bahwa Gus Usup sakit perut setelah ia menanggalkan jaketnya dan ternyata di dalam jaket tersebut terdapat Batu Akik Sisik Naga yang biasanya melingkar di jari manis Gus Usup.

Cerita pendek ini mengajarkan kita untuk tetap menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kita harus menjalankan ibadah karena Allah, bukan untuk dilihat orang lain.  Hal ini seperti yang dijelaskan dalam cerita pendek tersebut.

Gus Usup sepertinya juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat berjamaah waktu belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang waktu itu masih anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan saling mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling belakang. Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf terdepan bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki dengan sajadah. Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa yang tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama kalau ada Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap Gus Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani ke pondok.

Cerita pendek 'Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup' karya M.Shoim Anwar ini memang nyata adanya. Bahwa masih ada seorang ahli agama lulusan pesantren tetapi tidak menyombongkan dirinya, tidak ingin dipanggil Gus karena merasa sama dengan yang lain. Namun masyarakat tetap memanggilnya Gus dan sangat menghormatinya. Menjalankan kehidupan sehari-hari dengan ibadah yang tekun.

 n

Jumat, 26 Maret 2021

MAKNA “ULAMA ABIYASA TAK PERNAH MINTA JATAH” KARYA M. SHOIM ANWAR

“Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”  

 Puisi: M Shoim Anwar


Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

 tak pernah silau oleh gebyar dunia

 tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

 tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

 tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

 tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

 

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

 marwah digenggam hingga ke dada

 tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

 senyumnya merasuk hingga ke sukma

 langkahnya menjadi panutan bijaksana

 kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

 

Ulama Abiyasa bertitah

 para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

 tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

 menjadikannya sebagai pengumpul suara

 atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

 diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

 agar tampak sebagai barisan ulama

 Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

 datanglah jika ingin menghaturkan sembah

 semua diterima dengan senyum mempesona

 jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

 sebab ia lurus apa adanya

 mintalah arah dan jalan sebagai amanah

 bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

 tapi dilaksanakan sepenuh langkah

 Penghujung Desember 2020

                                                          Desember 2020


Puisi berjudul “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”  karya karya  M. Shoim Anwar bercerita tentang Ulama Abiyasa yang tidak terlena oleh kemewahan dunia. Dia tak pernah mau mengunggulkan dirinya, dan hanya ingin berpenampilan sederhana. Jika dilihat dari bentuknya, puisi tersebut memiliki tiga bait, setiap bait diawali dengan kata “Ulama Abiyasa” yang menjadikan bentuk puisi tersebut senada.

Bait pertama menjelaskan tentang Ulama Abiyasa yang dijadikan panutan para pemuda karena watak dan sifatnya. Seorang ulama yang tidak tertarik dengan duniawi seperti jabatan tinggi yang diimpikan banyak orang. Hal itu dapat dibuktikan pada bait pertama dalam puisi sebagai berikut:

Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

panutan para kawula dari awal kisah

ia adalah cagak yang tegak

tak pernah silau oleh gebyar dunia

tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

Bait kedua menjelaskan tentang Ulama Abiyasa yang selalu bertutur dengan lemah lembut tanpa menyakiti hati siapapun. Seseorang yang ramah senyum, serta bersikap sopan santun. Hal itu dapat dibuktikan pada bait pertama dalam puisi sebagai berikut:

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

marwah digenggam hingga ke dada

tuturnya indah menyemaikan aroma bunga

senyumnya merasuk hingga ke sukma

langkahnya menjadi panutan bijaksana

kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

Bait ketiga memiliki baris yang cukup banyak bila dibandingkan dengan bait pertama dan kedua. Berisi tentang Ulama Abiyasa yang disegani para penguasa, serta harus menghormatinya. Ulama Abiyasa tak pernah berminat menjadi seorang pejabat negeri yang diberi fasilitas serba ada. Ia lebih memilih menjadi Ulama dengan kesederhanaannya. Hal itu dapat dibuktikan pada bait pertama dalam puisi sebagai berikut:

Ulama Abiyasa bertitah

para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

menjadikannya sebagai pengumpul suara

atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa

diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

agar tampak sebagai barisan ulama

Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua

datanglah jika ingin menghaturkan sembah

semua diterima dengan senyum mempesona

jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

sebab ia lurus apa adanya

mintalah arah dan jalan sebagai amanah

bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

tapi dilaksanakan sepenuh langkah

Penghujung Desember 2020

Berdasarkan uraian bait puisi di atas, makna yang dapat disimpulkan yakni sesuatu yang dilakukan dengan pendirian dan prinsip kuat, maka akan mendapat hasil yang diinginkan dengan bahagia tanpa tekanan sedikitpun. Tidak tergiur tawaran dengan fasilitas yang mewah. Tetap fokus meningkatkan iman serta mengamalkan perintah Tuhan.

Apabila dihubungkan dengan kehidupan saat ini, mungkin masih banyak Ulama yang mendapatkan tawaran kursi di Pemerintahan. Namun, beberapa ada yang setuju dan tidak, mereka tetap melakukan dakwah sesuai dengan ciri khas dan karakternya masing-masing. Bahkan ada pula yang menyinggung kinerja pemerintah secara terang-terangan.

 


SAJAK PALSU KARYA AGUS R. SARJONO

     Sebelumnya kita telah mengulas dua puisi Widji Thukul, kali ini kita akan beralih pada karya kini Agus R.Sarjono dengan judul Sajak Pal...