Rabu, 16 Juni 2021

‘MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA’ KARYA TAUFIQ ISMAIL

 

‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’


Kali ini penulis akan membahas mengenai salah satu puisi dari Taufiq Ismail berjudul ‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’. Menceritakan beberapa perilaku yang dirasa kurang pantas mengenai sistem pemerintahan yang dijalankan pada era tersebut, sehingga membuat tokoh ‘aku’ malu jadi orang Indonesia. ‘aku’ merupakan seorang pribumi Indonesia yang bersekolah dan hidup di lingkungan bersama dengan orang asing. Awalnya ia bercerita sangat bangga terhadap negara yang ia cintai itu pada rekan sekelasnya karena negaranya berhasil merdeka dari jajahan Belanda, namun hal tersebut tak berlangsung lama. Negara yang semula ia banggakan melakukan beberapa tindakan yang merugikan rakyatnya sendiri dengan keputusan yang membuat malu. Tindakan pemerintah yang dirasa memalukan berasal dari berbagai bidang seperti dari bisnis, politik, kehidupan sosial, dan bentuk perilaku lain dan dari sektor lain pula. Berikut penggalan puisi ‘Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia’

I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

 

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia

 

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia

 

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini

Bait pertama menceritakan tentang kebanggaan seorang rakyat akan Negaranya yang mampu merdeka dari jajahan Belanda. Hal itu menjelaskan bahwa Negaranya mampu bangkit dan berjuang untuk meraih kemerdekaan. Sehingga rekan dikelasnya juga kagum akan perjuangan tersebut.

II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

Bait kedua menggambarkan semakin malu hidup sebagai warga Indonesia yang semula sangat dibangga-banggakan. Ia merasa bahwa hukum di Indonesia semakin lemah sehingga tidak ada standart yang bisa dijadikan untuk menghakimi seseorang.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,

 

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan,

 

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

 

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,

 

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,

 

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

 

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,

 

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,

 

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

 

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,

 

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

 

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

 

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,

 

Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

 

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan,

 

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.

Bait ketiga semakin menggambarkan dengan jelas mengenai perilaku-perilaku yang tidak dapat dibenarkan. Beberapa perilaku yang dicantumkan dalam puisi tersebut ialah mengenai hak masyarakat dalam bersuara. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tak terkecuali ulama yang memberi khutbah, wartawan yang menyampaikan berita, keputusan di pengadilan dapat dijadikan sebagai barter. Keluarga pemimpin negara maupun wakil pemimpin negara dan ataupun pihak petinggi lainnyayang mendapatkan perlakuan istimewa.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

 

1998

Bait Keempat semakin jelas disampaikan penyair yang menunjukkan dirinya pada lingkungan di sekitar. Saat sedang berjalan mengelilingi berbagai penjuru serta mengenalkan bahwa ia adalah sebagian dari keluarga Indonesia, sehingga hal tersebut menjadikannya malu, kemudian menyembunyikan diri dengan mengenakan kacamata hitam dan topi baret ketika berada di khalayak umum

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAJAK PALSU KARYA AGUS R. SARJONO

     Sebelumnya kita telah mengulas dua puisi Widji Thukul, kali ini kita akan beralih pada karya kini Agus R.Sarjono dengan judul Sajak Pal...